2 Tipe Sifat yang Menonjol Pada kejiwaan Manusia – Ada Dua tipe kejiwaan yang menonjol pada diri seseorang. yaitu adalah tipe Inbisathi Dan Tipe Inthiwa’i
1. Inbisathi
tipe dan model manusia jenis ini pandai dalam memainkan lidahnya, mudah bergaul dengan golongan manapun. mereka sangat pandai untuk menyesuaikan diri, karenanya banyak teman dan sahabatnya. dikalangan sahabat-sahabatnya, ia dikenal sebagai orang yang tidak kaku dalam pergaulan,peramah, dan dermawan. dunianya luas, namanya terkenal.
seorang Inbisathi pandai memainkan pendirianya, punya tenggang rasa yang tinggi, bahkan ia tetap bisa tertawa ketika keyakinan dan pendirianya diserang oleh seseorang, ia rela melonggarkan keyakinan. harga imanya turun naik sesuai dengan pasaran. Suatu berbelok haluan, sesuai dengan situasi dan kondisi, mengikuti alur zaman dan arus kecenderungan umum.
2. Inthiwa’i
Berbeda dengan model yang pertama, orang inthiwa’i jiwanya cenderung terbuka luas, model manusia seperti ini lebih memntingkan keyakinan dan keimananya. Baginya lebih baik mengasingkan diri dari pada bergaul dan mengejarkan sesuatu yang bertentangan dengan pendirinya. ia lebih baik berhijrah meninggalkan kampung halamannya, demi berjuan dan berkorban demi keutuhan keyakinanya, putus hubungan dengan sesama dengan manusia itu lebih baik dari pada putus dengan keimananya, seseorang yang berjiwa Inbisathi tidak akan pernah merasakn betapa nikmatnya berkorban dan berjuang dmi menegakan keyakinan, Seseoran Inbisathi tidak akan pernah merasakn betapa bahagianya suatu perjuangan. Mereka akan merasa heran bilamana melihat seseorang yang mati-matian mempertahankan keyakinanya dengan resiko yang berat.
Bagi orang Inthiwa’i lebih baik tetap mendapatkan cap kolot dari pada harus meninggalkan keyakin. lebih baik dikatakan tidak bisa bergaul asal keyakinanya tetap utuh. lebih baik tidak maju dari pada harus melakukan kemaksiatan. Bagi mereka mencari kerelaan manusia itu tidak penting bila harus mengorbankan keridhoan Allah. Baginya bukan merupakan kebahagiaan dan keselamatan, bila ujung-ujung perjalanan adalah Neraka Jahanam.
Nabi Muhammad adalah seorang Inthiwa’i. Beliu sangat teguh pendirian. kuat dalam memegang keyakinan. tak pernah luntur keimanan. iman itulah harga dirinya. Keyakinan itulah jati dirinya. Keyakinan itulah kekayaan satu-satunya. tanpa itu beliu merasa tidak ada gunanya lagi sebuah kehidupan. lebih baik berkalang tanah ketimbang harus mengorbankan keimanan. Itulah yang terlukis dari jawaban Nabi Muhammad Ketika ditawari pamanya agar berdamai saja dengan orang-orang kafir. dan dengan tegas Nabi Muhammad menjawab :
” Wahai Paman, Demi Allah, kalau pun matahari diletakkan di tangan kananku dan rembulan di tangan kiriku, agar aku meninggalkan perkara ini (penyampaian risalah), sehingga Allah memenangkannya atau aku binasa , pastilah tidak akan aku meninggalkannya. “
Nabi Muhammad memang tidak pernah kompromi dalam soal keyakinan. Beliau
memilih diasingkan oleh masyarakatnya di lembah Syi’ib selama 3 tahun daripada
harus menanggalkan perjuangan.
Caci maki, hasutan, fitnah, halangan, rintangan, bahkan siksaan, sampai ancaman pembunuhan,
tidak menyurutkan sedikit pun langkahnya dalam memperjuangkan
keimanan.
Berhijrah meninggalkan kampung halaman yang sangat dicintainya itu lebih baik daripada hidup
di tengah-tengah kekafiran.
Beliau lebih memilih meninggalkan sanak saudaranya
daripada meninggalkan cita-cita perjuangan.
Sikap beliau seperti ini ditegaskan dalam
Firman Allah:
Surat At-Taubah Ayat 24
قُلْ إِنْ كَانَ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ وَإِخْوَانُكُمْ وَأَزْوَاجُكُمْ وَعَشِيرَتُكُمْ وَأَمْوَالٌ اقْتَرَفْتُمُوهَا وَتِجَارَةٌ تَخْشَوْنَ كَسَادَهَا وَمَسَاكِنُ تَرْضَوْنَهَا أَحَبَّ إِلَيْكُمْ مِنَ اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَجِهَادٍ فِي سَبِيلِهِ فَتَرَبَّصُوا حَتَّىٰ يَأْتِيَ اللَّهُ بِأَمْرِهِ ۗ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ
“Katakanlah: “jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya”. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. “ (QS: At-Taubah: 24)
Rasulullah Shallahu‘alaihi Wassallam. seorang yang berjiwa inthiwa’i, tapi beliau tidak kaku dalam pergaulan.
Jiwa inbisathi juga mengalir pada diri beliau.
Walaupun sangat kuat pendiriannya, tak pernah kompromi dalam soal akidah dan keimanan,tapi beliau sangat luas pergaulannya, lemah lembut dalam penampilan, tidak keras dan kaku.
Dalam kelemah lembutannya terdapat kekuatan aqidah.
‘
Namun toh beliau bukan tipe orang yang memperturutkan hawa nafsunya,
sebagaimana orang bertipe inbisathi tulen. Beliau memanfaatkan pergaulannya untuk mengajak orang ke
dalam keyakinannya.
Toleransinya bukan untuk tujuan senangsenang, agar namanya populer dan luas pergaulan, tapi sematamata bernilai dakwah.
Hal ini senada dengan
firman Allah:
Surat Ali ‘Imran Ayat 159
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. “ (QS. Ali Imran-. 159)
Tenggang rasa bukan berarti menenggang salah dan dosa. Amar ma’ruf dan nahi munkar adalah sendi
agama.
Tak mungkin seorang mukmin berpangku tangan sementara kemaksiatan mengelilingi dirinya.
Inilah pendirian orang yang beriman, orang yang punya keyakinan dan keimanan.
Mereka takakan goyah oleh angin, tak akan goncang oleh topan.
Dalam situasi dan kondisi bagaimana pun dia tetap konsisten.
Hanya pada orang-orang seperti ini saja akan terlahir para pejuang.
Pada orangorang yang berjiwa inthiwa’i inilah akan lahir seorang pahlawan.
Pejuang tak bakal terlahir dari kelompok manusia berjiwa inbisathi, yaitu orang-orang
yang mudah menukar keyakinan, gampang menjual keimanan.
Orang-orang seperti ini bagai pelanduk yang bisa hidup dalam situasi yang bertentangan dengan desakan hati nurani.
Seorang inbisathi tidak berpendirian, tak punya keyakinan.
Mereka membiarkan anak putrinya tak memakai kerudung dengan alasan supaya lebih luas pergaulannya mumpung masih muda, masih masa-masanya
bahagia.
Dengan alasan yang dibuat-buat mereka juga menyatakan bahwa Islam itu maju, selalu mengikuti
perkembangan zaman.
Hal ini sangat berbeda dengan seorang inthiwa’i, yang akan tetap mengenakan kerudungnya
meskipun sekolah melarangnya, meskipun seluruh teman dan sahabatnya mengolok dan menjauhinya,
meskipun orang tua tidak menyetujuinya.
Karena kerudung sudah diyakini merupakan perintah agama yang wajib dilaksanakan sebagaimana wajibnya shalat.
Maka apapun yang terjadi akan dipertahankannya.
Ia akan merasa tersiksa bila sampai membuka auratnya di depan orang lain, tapi justru merasa tenang dan bahagia bila mampu mempertahankan keyakinannya.
Seorang Muslim sangat yakin bahwa kemerdekaan itu hak setiap manusia.
Bahwa penjajahan itu bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam, merupakan bentuk kezhaliman yang harus dilawan dengan segenap upaya.
Karenanya ia akan tampil ke depan, maju ke front terdepan untuk menghalau penjajah walaupun risikonya nyawa bisa melayang.
Di sinilah lahir para pejuang. Dari sini pula tumbuh para pahlawan.
Akan tetapi pada orang-orang inbisathi, tidak akan tumbuh sikap semacam ini.
Mereka justru merasa heran jika ada orang yang mau berkorban demi sesuatu yang tidak kongkret, demi idealisme, demi keyakinan.
Mereka tidak bisa mengerti kok mau-maunya menyiksa diri.
Bukankah hidup ini hanya sekali, kenapa tidak dinikmati? Begitu kira-kira jalan pikiran
mereka. Akibatnya mereka lebih memilih sikap menjilat daripada
bersikap tegas.
Bukan potongan pejuang, seseorang yang hanya mementingkan diri mereka sendiri.
Tidak akan disebut pahlawan seorang yang hanya mengejar kenikmatan duniawi.
Kita pernah membaca penyiksaan yang dilakukan oleh para penguasa Mesir kepada seorang pejuang
wanita muslimah,
Maryam Al-Ghazali,
dengan sangat kejam. Pernah ia disekap dalam ruang yang sangat sempit, tanpa ventilasi, juga tanpa makanan dan minuman.
Saat-saat seperti itu ia merasakan suatu keanehan. Bila perutnya terasa lapar, ia segera tertidur
kemudian seakan-akan memakan makanan yang lezat sekali, begitu bangun perutnya sudah kenyang. Berhari-hari hal itu dialaminya.
Jika di dunia saja mereka sudah mendapat balasan seperti itu, maka di akhirat mereka bakal memperoleh
kenikmatan yang lebih
besar lagi.
“Dan orang-orang
yang gugur pada jalan
Allah, Allah tidak akan
menyia-nyiakan amal
mereka. Allah akan
memberi pimpinan
kepada mereka
dan memperbaiki
keadaan mereka, dan
memasukkan mereka ke
dalam surga yang telah
diperkenankan-Nya
kepada mereka.” (QS.
Muhammad: 4 – 6)
Teladan kepahlawan seperti ini sangat banyak di-jumpai dalam sejarah Islam.
Nama-nama mereka ditulis dengan tinta emas, sebagai syuhada yang baunya semerbak harum di sepanjang zaman.
Jasad mereka sudah lama terkubur dalam tanah, tapi jiwa mereka tetap hidup sepanjang masa.
Sumber : Buku Suara Hidayatullah
Tinggalkan komentar